Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example 728x250
News

Perlunya Tindakan Progresif Petinggi Partai Dalam Rangka Pelaksanaan Kebijakan Afirmasi Keterwakilan Perempuan

246
×

Perlunya Tindakan Progresif Petinggi Partai Dalam Rangka Pelaksanaan Kebijakan Afirmasi Keterwakilan Perempuan

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Kicaunews.com – Afirmasi keterwakilan perempuan dalam politik adalah kebijakan yang sudah dilahirkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Namun hingga saat ini kebijakan ini masih belum efektif dan cenderung hanya merupakan suatu “lip service”. Perlu diakui oligarki politik Indonesia merupakan proses yang sulit bagi pria
sekalipun, dan memang “barrier to entry to politics” umumnya terlalu berat untuk manusia biasa ataupun
malaikat.

Di tahun 2024, sudah waktunya Kebijakan Afirmasi ini membuktikan suatu kemajuan, dan bukan tetap menempatkan perempuan sebagai “vote getter” atau “cheerleader” namun bukan pihak yang dapat turut
menikmati kemenangan bersama kolega prianya.
Di Pemilu 2024 afirmasi keterwakilan perempuan ditekankan dalam UU No. 7 Tahun 2023 tentang
Perppu No. 1 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 173 ayat 2 butir e
yang menyebutkan menyertakan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik
tingkat pusat. Pasal 245 menyebutkan pula bahwa daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling
sedikit 30%.
Afirmasi perempuan dalam UU Pemilu tidak hanya terhadap Caleg, tetapi juga penyelenggara. Pasal 22
UU Pemilihan Umum menyebutkan keanggotaan tim seleksi calon anggota KPU RI dengan memperhatikan
keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI selaku
penyelenggara teknis dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI harus memperhatikan Persentase
keterwakilan perempuan paling sedikit 30% disebutkan dalam UU Pemilu (Pasal 92 ayat 11). Sebut saja bahwa
penyelenggara untuk tingkat kecamatan Panitia Pemungutan Kecamatan atau PPK (Pasal 52 ayat 3), Panitia
Pemungutan Suara paling atau PPS tingkat kelurahan (Pasal 55 ayat 3) dan Kelompok Petugas Pemungutan
Suara atau KPPS (Pasal 59 ayat 4).
Terkait ini, kita harus belajar dari dunia korporasi bahwa suatu Direksi dan Dewan Komisari baru akan
berubah dalam pola pengambilan keputusan menuju pro-gender, saat ada lebih dari 1 atau bahkan minimal 3
Direktur dan Komisaris. Demikian pula harus dilihat sejauh mana, jumlah keterwakilan perempuan itu cukup
signifikan untuk memastikan keputusan yang diambil lebih mengedepankan kepentingan perempuan dan anak.
Atau jangan-jangan, karena perempuan itu “outnumbered” akhirnya hanya mengikuti putusan pria yang ada dan
justru menghasilkan legislasi yang amat merugikan perempuan dan anak.
Selain itu, mengingat sistem yang memungkinkan banyak partai, dan masing-masing partai harus
menyediakan begitu banyak calon, tantangan yang dihadapi caleg perempuan menjadi lebih berat lagi ditengah
rakyat dibuat bingung harus pilih siapa di tengah kertas suara dengan banyak nama tersebut. Ini belum
mempertimbangkan kesanggupan finansial yang dibutuhkan untuk nyaleg, yang jika perempuan itu adalah istri
tentunya belum tentu merupakan putusan yang bisa diambilnya secara bebas dari pandangan suami.
Harus diakui bahwa jarang ada perempuan yang secara mandiri dapat mengeluarkan uang yang
diperlukan, tanpa dapat bergantung pada fasilitas dan bantuan sosial yang umumnya hanya tersedia kepada incumbent.

Example 300x600

Namun yang juga menarik berdasarkan pengalaman saya, uang untuk proses politik yang harus
dikeluarkan saya sebagai caleg, umumnya lebih tinggi dari laki-laki. Faktor lebih tingginya adalah sebagai
perempuan, kita harus melewati banyak perantara untuk dapat menembus ke pihak-pihak yang memiliki
pengaruh untuk mengamankan atau memperkuat kedudukan kita sebagai caleg.
Selain itu, kita bisa melihat bahwa sistem penghitungan suara yang walau pun hendak dikesankan lebih
berdasarkan “IT’ ternyata justru banyak menghasilkan kesalahan, selain itu masih melibatkan kewenangan
personal penyelenggara. Dengan arti lain bahwa sistem yang konon transparan itu sendiri justru banyak
mengandung “error teknologi” selain juga masih memungkin diskriminasi terhadap perwakilan perempuan.
Faktor lain adalah bukan rahasia lagi bahwa proses pencalonan penyelenggara dan pengawas kerap
dipengaruhi atau dilobby jauh-jauh hari sebelum Pemilu itu sendiri, oleh pihak-pihak yang kemudian akan
mempunyai kepentingan dalam Pemilu itu sendiri. Sejauh mana perempuan dalam posisi untuk bisa melobby
seperti itu perlu dipertanyakan.
Kesan kolusi calon dan peneyelenggara, atau adanya “hutang budi” sistemik antara penyelenggara dan
calon di masa sebelumnya yang mengurani kredibilitas pengawas dan penyelenggara yang imparsial. Seperti
juga dalam konteks terkait kemiskinan, ketidakadilan yang umumnya akan pertama dan utamanya merugikan
perempuan, demikian juga proses ini menjadi hambatan lebih besar pada Kebijakan Afirmasi Keterwakilan
Perempuan.
Untuk itu, menurut saya pribadi mengingat sistemnya sudah cenderung tidak “JURDIL” sehingga “TIDAK
PRO PEREMPUAN”, hanyalah Petinggi Partai yang bisa intervensi untuk memastikan bahwa calon legislator
perempuan-perempuan kompeten tetap bisa lolos dari lubang jarum.
Khususnya dalam hal di suatu Dapil sudah jelas dapat dimenangkan lebih dari satu kursi maka
sewajarnya, perempuan diijinkan dalam rangka Kebijakan Afirmasi Keterwakilan Perempuan untuk menduduki
kursi tersebut dan tidak hanya dikaitkan siapa yang mendapatkan “kursi terbanyak”.
Kebijakan Afirmasi yang ada harus lebih berani menempatkan perempuan sebagai wakil rakyat, karena
dengan sistem yang membingungkan pemilih, belum tentu dari suara murni menghasilkan “wisdom” dari pemilih.
Harusnya Petinggi Partai yang paling memahami apa yang dibutuhkan konstituen suatu Dapil guna
kemajuannya di lima tahun mendatang.
Berbagai indikasi praktek kurang sehat dari kekisruhan penghitungan suara, indikasi hutang budi
penyelenggara pada calon tertentu, dan juga suatu pengkondisian secara sistemik di Pemilu 2024, berpotensi
menurunkan afirmasi keberadaan perempuan di parlemen. Berdasarkan hasil Pemilu 2019 keberadaan legislatif
perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia baru mencapai 120 anggota dari 575 anggota DPR
RI atau 20,8% dari kuota afirmasi 30%. Semoga di Pemilu 2024, representasi perempuan khususnya bagi partai
yang berhasil mendapatkan simpati rakyat sebagai Juara I, II, III dapat membuktikan keberpihakannya kepada
caleg perempuan yang kompeten di bidang legislasi dapat memperkaya dan meningkatkan kualitas legislasi
agar lebih pro-perempuan untuk 5 tahun ke depan. Petinggi Partai yang menjadi pemenang Pemilu 2024 harus
memberikan contoh untuk lebih melaksanakan Kebijakan Afirmasi Keterwakilan Perempuan secara progresif.(*)

oleh: Melli Darsa, SH, LLM (Caleg DPR RI untuk Dapil Jabar III, dari Partai Golkar)

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

xvideosxvideosxvideosxvideosxvideosxvideosxvideosxvideosxvideosxvideosxvideosxvideos