Kicaunews.com, Jatiwaringin –
Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) mengadakan even FKIP Festival 2025 di lantai 8 Universitas Islam Assyafiiyah (UIA) Jl Jatiwaringin Raya ,Pondok Gede ,Sabtu 28 Juni 2025.
Dalam rangkaian FKIP Festival 2025 ,ada Bedah Buku Kontrak Politik , kolaborasi dari FKIP UIA dan Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI).
Kalau kita membuka google – saat kita meng-klik kalimat bedah buku, umpamanya. Maka, yang tersirat adalah bagaimana seseorang mencermati kata kunci “bedah” dimaksud. Bedah buku –ini istilah yang banyak dipakai di kalangan akademisi. Namun, bedah buku juga sering dimanfaatkan para kritikus/ pengamat sastra tatkala mereka meneliti sebuah karya sastra.
Bedah buku memiliki banyak manfaat. Baik itu untuk penulis, pembaca/ audience, maupun penerbit buku. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bedah buku adalah diskusi yang membicarakan seputar isi buku. Bedah buku dapat pula diartikan sebagai ajang untuk memperkenalkan isi buku kepada calon pembaca. Bedah buku tidak melulu menjelaskan tentang bagaimana isi buku, tetapi justru lebih fokus pada latar belakang penulis menuliskan tema tersebut. Termasuk alasan membuat buku dan inspirasi apa yang mendorong menuliskan buku tersebut. Kenyataannya, bedah buku banyak dilirik dan diminati pecinta buku. Alasannya sederhana, karena bedah buku memiliki kemasan yang lebih kritis dan analitis. Penjelasannya pun lebih panjang dan gamblang.
Di Antara Janji, Doa, dan Satire
Kumpulan cerpen KONTRAK POLITIK menawarkan keberagaman pendekatan terhadap realitas yang kompleks, getir, dan penuh paradoks. Ia tidak menyodorkan satu tafsir tunggal atas kehidupan, melainkan membuka berbagai celah pembacaan dari spektrum yang luas: politik kekuasaan, krisis spiritual, hingga kegamangan sosial dalam budaya urban. Tiga nama pengarang di dalamnya – Ismail Lutan, Putra Gara, dan Hamidin Krazan –menjadi representasi dari tiga gaya yang sangat berbeda, namun saling mengisi dan memberi pantulan nuansa dalam terhadap wajah Indonesia masa kini. Buku ini bukan semata kumpulan fiksi, melainkan juga dokumen kultural yang menangkap denyut sosial dengan cara yang tak selalu gamblang, namun membekas. Ismail Lutan mengandalkan satire politik yang kuat, menjadikan absurditas sebagai fondasi naratifnya. Cerpen pembuka, “Kontrak Politik,” mempermainkan logika kekuasaan dan tubuh perempuan dalam permainan metaforis yang tajam namun tidak kehilangan jenaka getir. Pembaca dibawa menertawakan kenyataan yang terlalu nyata, di mana janji politik bisa disamakan dengan pelacuran emosional, dan nilai-nilai demokrasi tak lebih dari perjanjian bawah meja. Di cerpen lain, seperti “Angka-Angka Sedekah Angka,” Lutan tetap konsisten menyisipkan kritik dengan simbol-simbol yang liar namun terkontrol. Keunggulan Lutan terletak pada kemampuannya mengolah absurditas tanpa kehilangan konteks sosiologis, menjadikan cerpennya sebagai arena di mana ironi berkelindan dengan realitas dalam narasi yang tetap komunikatif dan memikat.
Berbeda dari pendekatan Lutan yang frontal. Putra Gara memilih jalur kontemplatif, spiritual, dan personal. Cerpennya, “Sebuah Jalan,” menjadi titik keseimbangan dalam buku ini. Ia hadir sebagai jeda yang menenangkan dari dunia politik dan gemuruh sosial yang ada di cerpen cerpen lainnya. Di sini, tokoh utamanya adalah anak jalanan yang kehilangan figur ayah pencopet, lalu menempuh perjalanan batin menuju keheningan, doa, dan akhirnya pemahaman. Gaya naratif Putra Gara lembut, kadang nyaris lirih, tapi justru di situlah kekuatannya: ia tak memburu klimaks, melainkan menggiring pembaca perlahan-lahan untuk masuk ke dunia sunyi, yang justru lebih bising daripada keramaian. Kesederhanaannya adalah ketajamannya; ia tidak melawan dunia dengan satir, tapi dengan diam dan doa yang tak bersuara.
Hamidin Krazan melengkapi lanskap kumpulan ini dengan gaya yang lebih pop, penuh permainan simbol dan humor gelap. Dalam cerpen seperti “Tuhan Oplosan” atau “Kalung Modus,” Krazan memanfaatkan absurditas masyarakat urban dan pseudo-religiusitas untuk membongkar keganjilan realitas sosial. Ia tak segan menertawakan ketulusan semu, baik dalam urusan cinta, ibadah, maupun relasi ekonomi. Gaya bertuturnya ringan, cenderung berirama seperti dialog harian, namun sarat kecurigaan terhadap norma. Jika Lutan mengangkat absurditas dalam konteks kuasa negara dan Gara pada pencarian spiritual, maka Krazan menempatkan absurditas di lorong-lorong pikiran masyarakat kelas menengah bawah yang gamang, labil, dan penuh kepura-puraan.
Yang menarik dari kumpulan cerpen ini adalah bagaimana ketiga pengarang tidak saling meniru, tetapi saling menyempurnakan. Lutan memukul pembaca dengan ironi tajam, Gara membelai mereka dengan renungan, sedangkan Krazan membuat kita tertawa kecut sebelum sadar bahwa yang ditertawakan adalah diri sendiri. Kombinasi ini menciptakan lapisan emosi yang dinamis, yang membuat buku ini tidak hanya penting sebagai karya sastra, tetapi juga sebagai cermin sosial. Ia menghadirkan pertanyaan-pertanyaan tentang integritas, tentang kemiskinan, tentang ketiadaan cinta, tentang Tuhan yang dipanggil hanya saat dompet menipis, dan tentang manusia yang semakin kehilangan arah dalam lalu lintas janji dan harapan yang diproduksi setiap hari. Secara teknis, hampir semua cerpen dalam buku ini disusun dengan struktur yang stabil: pembukaan yang kuat, konflik yang berkembang organik, dan penyelesaian yang kadang kabur, tapi justru menegaskan absurditas dunia yang ingin mereka wakili. Bahasa yang digunakan pun beragam, dari metafora yang padat dan tajam di tangan Lutan, diksi spiritual dan hening di tangan Gara, hingga slang urban dan satire di tangan Krazan. Perbedaan ini bukan kekurangan, melainkan daya tarik. Ia memberi kemungkinan pembacaan lintas usia, lintas latar, dan lintas selera.
Kumpulan Cerpen KONTRAK POLITIK bukan karya yang mengejar kemapanan estetika atau kemurnian moral. Ia tidak takut kotor, tidak malu tampil sinis, dan tidak berambisi menggurui. Justru di sanalah letak kekuatan dan kejujurannya. Buku ini menantang pembaca untuk tidak hanya menikmati cerita, tapi juga berefleksi dan, bila perlu, menggugat dirinya sendiri.
Masa Keemasan Cerpen di Indonesia*
Masa keemasan cerpen di Indonesia ditandai dengan munculnya banyak pengarang dan karya fenomenal pada dekade 1950-an. Faktor pendukung periode keemasan ini, di antaranya terbit majalah Kisah, Tjerita, Prosa, dan sebagainya. Sedangkan pengarang cerpen yang diperhitungkan saat itu, antara lain Riyono Pratikto, Subagio Sastrowardoyo, Sukanto SA, Nh. Dini, Bokor Hutasuhut, Mahbub Djunaedi dan AA Navis.
Masa keemasan berikutnya adalah kehadiran majalah Sastra Horison pada tahun 1960-an, hingga tahun 1990-an. Majalah Horison di masanya banyak melahirkan cerpenis, seperti Putu Wijaya, Hamzad Rangkuti, Danarto, Ahmad Tohari dan Seno Gumira Aji Darma.
Seperti juga kehadiran Ismail Lutan, Putra Gara dan Hamidin Krazan – para cerpenis terdahulu pun banyak menulis dengan tema-tema universal. Gaya dan tema yang beragam. Putu Wijaya dengan teror mentalnya. Hamzad Rangkuti dengan permainan kata-kata melalui repetisinya. Danarto dengan tifografi yang tentunya agak berbeda.
Cerpenis Indonesia umumnya hadir seiring adanya media sastra yang memuat cerpen. Tiga puluhan tahun terakhir ini para kritikus/ pengamat sastra – khususnya pengamat cerpen – terperas pemikirannya melalui Cerpen Pilihan Kompas. Para cerpenis akan merasa bangga jika cerpennya terpilih melalui kurasi, kemudian dimuat di buku antologi Cerpen Pilihan Kompas. Tentunya yang dimuat adalah cerpen-cerpen yang pernah tayang di koran Kompas cetak maupun Kompas.id. “Kado Istimewa” (1992), adalah kumpulan Cerpen Pilihan Kompas pertama. Dan berturut-turut hadir, “Pelajaran Mengarang” (1993), “Lampor” (1994), “Laki-Laki Yang Kawin Dengan Peri” (1995), “Pistol Perdamaian” (1996), “Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan” (1997), “Derabat” (1999), “Dua Tengkorak Kepala” (2000), “Kasur Tanah” 2017”, Ihwal Nama Majid Pucuk” (2022), dan masih banyak lagi.***