Energi Baru Terbarukan (EBT) merupakan antitesa dari Energi fosil yang selama ini dikonsumsi oleh masyarakat. Energi Baru Terbarukan pertama kali diperkenalkan pada tahun 1970 sebagai bagian dari upaya mengurangi penggunaan Energi fosil yang jumlah persediaanya semakin menipis.
Indonesia yang merupakan Negara yang terletak di garis khatulistiwa, secara geografis tentunya memiliki sumber Energi Baru Terbarukan yang melimpah. Data dari Kementerian ESDM menyebutkan bahwa Indonesia memiliki Potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) yang cukup besar diantaranya, mini/micro hydro sebesar 450 MW, Biomass 50 GW, energi surya 4,80 kWh/m2/hari, energi angin 3-6 m/det dan energi nuklir 3 GW. Data potensi EBT terbaru disampaikan Direktur Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi dalam acara Focus Group Discussion tentang Supply-Demand Energi Baru Terbarukan yang belum lama ini diselenggarakan Pusdatin ESDM.
Dalam rangka memaksimalkan potensi Energi Baru Terbarukan, Pemerintah mengacu pada Perpres Nomor 05 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Ini merupakan langkah konkrit yang oleh Pemerintah Indonesia kedepannya akan menjadikan Energi Baru Terbarukan sebagai pengganti Energi fosil di Indonesia. Menurut Pemerintah Indonesia, tahun 2050 penggunaan Energi Baru Terbarukan di Indonesia akan mencapai 31 persen.
Sebagai antitesa dari Energi fosil, kehadiran EBT tentunya menuai pro kontra ditengah– tengah masyarakat. Selain karena dianggap sesuatu yang baru yang disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dan literasi mengenai EBT tersebut, kehadiran EBT sendiri dianggapakan membuat perusahaan – perusahaan yang selama ini konsentrasi pada industri batu bara akan Hijrah ke industri EBT. Bahkan enam perusahaan besar yang selama ini menggarap tambang batu bara secara terang – terangan telah mengalihkan fokus perhatian mereka ke EBT. Grup Sinarmas PT Dian Swastatika Sentosa Tbk. (DSSA), PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), PT Indika Energy Tbk (INDY) dan Grup Astra PT United Tractors Tbk (UNTR) adalah enam perusahaan yang kini fokus pada EBT.
Apa Dampak Yang Dihasilkan Terhadap Masyarakat?
Pertanyaan diatas tentunya mengacu pada kualitas dan juga literasi para pekerja ataukah buruh yang bekerja pada perusahaan – perusahaan tersebut. Setiap perusahaan tentunya menginginkan para pekerjanya memiliki kemampuan dan juga kualitas yang mumpuni. Nah yang menjadi problem adalah tingkat kemampuan dari para pekerja atau buruh pabrik mengenai transisi Energi ini masih menjadi tanda tanya besar.
Jika pada sisi pekerja atau buruh kehadiran EBT menjadi ancaman bagi karir mereka, maka dari sisi perusahaan kehadiran EBT tentunya menjadi ajang bisnis Energi yang menjanjikan. Walaupun untuk memulai bisnis EBT ini menggunakan anggaran besar, namun EBT juga akan menghasilkan keuntungan yang melimpah.
Apakah Kehadirnya EBT Akan Menghilangkan Industri Batu Bara di Indonesia?
Dalam Draf RUU EBT, batu bara dan nuklir justru dianggap masih menjadi bagian dari elementari Energi Baru Terbarukan. Bahkan menurut RUU tersebu, perusahaan yang ingin hijrah dari Energi Fosil ke Energi Baru Terbarukan akan mendapatkan insentif sebagai bagian dari upaya pengembangan EBT tersebut.
Inilah ironi yang kini dialami Indonesia terkait transformasi Energi fosil ke Energi Baru Terbarukan. Disaat semangat Energi Hijau digaungkan oleh pemerintah, justru rancangan aturan mengenai EBT tersebut justru masih memasukkan batu bara sebagai bagian dari EBT. Hal ini dianggap akan menjadi Boomerang bagi pemerintah jikalau aturan terkait EBT dan juga Energi Hijau ini tidak terselesaikan secara optimal.
Kita tentunya menginginkan Energi ramah lingkungan dalam rangka mengurangi penggunaan emisi karbon (kebijakan Net Zero Emissions). Namun masyarakat khususnya para pekerja dan buruh pabrik tentunya berharap regulasi mengenai EBT tersebut tidak menjadi masalah bagi mereka dikemudian hari.
Penulis: Haerullah.
Peserta LK3 Badko Kalimantan Barat
Mahasiswa Magister Program Studi Sumber Daya Manusia